KABAYAN LEGENDA SUNDA
Siapa tak kenal Si Kabayan tokoh dalam
dongeng masyarakat sunda ini sering disalahfahami sebagai sosok yang
bodoh dan malas. Padahal di balik sikap si Kabayan yang lugu itu, sebetulnya leluhur
urang Sunda menciptakan sosok si Kabayan untuk menggambarkan filosofi
dan world view urang Sunda yang sangat sprititual. Sayang tak banyak
orang yang menangkap sisi ini.
Berikut ini beberapa filosofi hidup di balik sikap si Kabayan:
Geus teu nanaon ku nanaon:
Artinya tidak terpengaruh oleh apa-apa. Sehari-hari si Kabayan hidup
dengan gembira, tak pernah dikhawatirkan oleh hal-hal dunia dan hiruk
pikuk kehidupan. Kemalangan tak membuatnya bersedih, kegembiraan tak
membuatnya eforia. Menurut KH. Jalaludin Rachmat, salah satu inti dari
ajaran kebahagiaan yang diajarkan dalam prsikologi modern maupun
ajaran-ajaran sufi klasik adalah sikap ini: Tak terlalu sedih ketika
ditimpa kemalangan, tak terlalu gembira ketika mendapat kesenangan.
Karena baik kesenangan maupun kemalangan adalah sementara, datang dan
pergi dalam hidup kita. Ketidakbahagiaan disebabkan ketidaksiapan kita
menerima dan melepas yang sementara dengan rela (ridha). Simak saja
semua cerita si kabayan, penuh dengan kesenangan dan kebahagiaan. Tak
ada kisah sedih atau bahagaia yang berlebihan seperti dalam cerita film
India atau Sinetron.
Full bodor dan memberikan kebahagaiaan pada orang lain
“Heuheuy deudeuh!” biasanya dilontarkan si Kabayan ketika menyaksikan
atau mengalami kebahagiaan atau kesenangan. Makanya ada ungkapan dalam
bahasa Sunda “Hirup mah heuheuy jeung deudeuh!, mun keur seuri cape
seuri mun keur ceurik cape ceurik” Hidup itu selalu kesenangan dan
kesedihan jika sedang menangis akan capek nangis, ketika tertawa akan
capek tertawa. Semua saling berganti, jadi enjoy aja lah! Makanya
heureuy atau guyon menjadi menu utama orang Sunda, seperti terlihat
dalam sosok Kabayan. Dari guru, penghulu, hingga kyai cenderung
mengandung unsur heureuy dalam cara mereka menyampaikan pesan-pesannya.
Bahkan agak sedikit cawokah, alias menyerempet hal-hal dewasa yang dalam
bahasa sunda disebut “jorang”. Berbeda dengan tradisi wayang kulit atau
cerita Mahabarata dan Ramayana yg aslinya dari India, dalam pagelaran
wayang golek sunda, tokoh cepot yang bodor sepertinya jauh lebih
mendapatkan perhatian dibanding Arjuna, Gatotgaca atau tokoh serius
lain. Hal utama dalam sikap hidup si Kabayan dan filosofi hidup orang
Sunda adalah memberikan keceriaan dan kebahagaiaan kepada orang lain.
Menangis saat gembira, tertawa di kala duka
Salah satu cerita populer dari legenda si Kabayan adalah ketika berjalan
di tanjakan dan turunan. Saat Kabayan menaiki jalan menanjak, dia
tertawa senang. Sebaliknya, ketika menuruni pudunan alias turunan, dia
malah menangis. Melihat sikap yang aneh itu, teman seperjalananya
bertanya keheranan. Kabayan menjawab bahwa ketika di tanjakan di tertawa
karena dia yakin setelah tanjakan pasti nanti ada turunan, karena itu
dia bahagia memikrikannya. Dan ketika berada di turunan, dia sedih
karena turunan itu akan segera berlalu dan tanjakan akan dia hadapi.
Sikap ini menunjukkan bahwa kita hidup tidak terpaku pada sesuatu yang
kita alami SEKARANG, tetapi melihat jauh ke depan.
Teu daya teu upaya
Lengkapnya: “Abdi mah teu daya teu upaya, mung ngiringan kersaning
Anjeun” Ini ungkapan yang artinya kira-kira sama dengan Laa haula walaa
quwwata illa billah, tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah. Orang
Sunda melihat kehidupan seperti wayang atau bayang-bayang, yang hidup
karena dimainkan oleh dalang. Wayang sama sekali tak memiliki daya dan
upaya.
Melalui pemahaman akan filosofi-filosofi di atas mungkin kita bisa
melihat dengan cara berbeda kisah-kisah si Kabayan. Produktivitas, kerja
keras, hal-hal duniawi yang menjadi fokus hidup kita sekarang memang
akan menyulitkan kita mengapresiasi sosok Kabayan. Kita cenderung
melihat sosok si kabayan yang malas, bodoh dll. Padahal semua sikap si
Kabayan bisa jadi anti thesis terhadap kehidupan modern yang terlalu
cepat sehingga melewatkan kegembiraan-kegembiraan kecil sehari-hari,
yang masih bisa dinikmati oleh si kabayan. Di barat kini tengah ngetrend
gerakaan deselerasi, pelambatan hidup. Misalnya dengan berjamurnya
pusat-pusat yoga dan meditasi, slow food, dll.
Misalnya ada satu kisah tentang kabayan ngala (mengambil-red) tutut
(sejenis keong sawah yang bisa dimakan dan mengandung protein tinggi,
enak sekali!). Sudah berjam-jam Kabayan masih saja jongkok di pematang
sawah dan tidak mau masuk ke sawah, sambil emmandanig air yang
menggenang di sawah yang masih basah itu. Melihat sikap Kabayan yang
aneh itu, mertuanya bertanya mengapa dia tidak juga turun ke sawah.
Kabayan menjawab bahwa dia tidak mau turun ke sawah karena air di sawah
dalam sekali, saking dalamnya, dia bisa melihat langit di permukaan air
sawah.
Cerita di atas sering dianggap sebagai cerita “bodoh” si Kabayan, masak
dia takut masuk ke sawah karena dia menggap airnya dalam gara-gara
melihat bayangan langit di permukaannya. Padahal jika kita renungkan,
kisah ini menyindir kebodohan kita dalam memandang hidup. Kita sering
ketakutan oleh kehidupan dunia yang sebetulnya adalah bayang-bayang,
seperti juga bayangan langit di permukaan air sawah. Kita sering
khawatir kehilangan pangkat, jabatan atau kekayaan. Padahal semua itu
bayang-bayang yang pasti akan hilang. Kalau kabayan takut oleh
bayang-bayang langit, itu sebetulnya menyindir kita yagn sellau
ketakutan oleh bayang-bayang duniawi, sesuatu yagn tak nyata dan pasti
hilang.
Cerita ini mengingatkan saya pada kisah sufi Nasruddin Khoja. Suatu saat
dia meninggalkan keledainya di tengah gurun pasir. Ketika dia kembali,
dia tidak menemukan keledainya. Ketika seseorang bertanya kepada
Nashrudin di mana tadi di ameninggalkan keledainya, Nashrudin menjawab
bahwa dia sangat yakin bahwa ditempat itulah di ameninggalkan
keledainya, sebagai tandanya dia menunjuk awan di langit, “Saya simpan
keledai saya tepat di bawah awan itu, swear!” Kisah ini terlihat sama
bodohnya dnegan Kabayan. Masak awan dijadikan patokan tempat keledai
ditambatkan. Padahal awan kan bergerak, tidak bisa jadi patokan. Tapi
seperti itulah sebetulnya seringkali kita menjalani dan memandang hidup.
Kita sering menambatkan sesuatu harapan pada patokan yang tidak abadi.
Kita menambatkan kebahagiaan pada sesuatu yang sementara, bergerak dan
bsia hilang.
Sosok Kabayan selalu ada di setiap budaya, diciptakan oleh leluhur kita
untuk mengabadikan kebijakan sebagai warisan untuk generasi-generasi
berikutnya. Seperti juga sosok Nasrudin Khoja dalam tradisi Sufi. Dalam
tradisi sufi, ada satu istilah (yang saya lupa) yang menggambarkan bahwa
sufi-sufi yagn ilmunya sudah tinggi suka berpura-pura jadi orang yang
bodoh, agar mereka bisa memberikan nasihat kepada banyak orang dnegan
cara yang bersahaja, tanpa menggurui. Sebagian orang yakin bahwa
Nasruddin Khoja adalah sufi besar, jadi mungkin juga kalau Kabayan itu
adalah seorang Sufi (?)
Selain sikap hidup yang asketik di atas, ada beberap kualitas Kabayan yang jadi filosofi dalam kehidupan sehari hari misalnya:
* Cageur: sehat fisik dan rohani
* Bageur: baik hati
* Pinter: cerdas
* Motekar: kreatif
* Basajan: sederhana
* Handap asor: rendah hati
* Bageur: baik hati
* Pinter: cerdas
* Motekar: kreatif
* Basajan: sederhana
* Handap asor: rendah hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar